“Gelombang panas dan hujan lebat akan semakin sering.” (Dokumen Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, Paris, 2007)
Ketika bayang-bayang banjir masih menghantui banyak warga Jakarta, beberapa kearifan ilmiah dapat dipetik dari peristiwa yang amat menyesakkan dada ini. Kearifan yang dimaksud terkait dengan potensi beberapa disiplin ilmu yang relevan dengan musibah banjir, tetapi kurang diapresiasi. Ilmu-ilmu ini sesungguhnya telah dikenal tidak saja di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan para pengambil keputusan, namun masih sering dilupakan dalam kehidupan sehari-hari, yang akibatnya lalu terjadi berbagai bencana, termasuk banjir.
Yang pertama tentu saja soal-soal cuaca. Dalam hal ini, media massa perlu memperbanyak dan mempersering menerbitkan laporan tentang ilmu cuaca agar masyarakat semakin terbiasa. Di dunia internet, The Franklin Institute, misalnya, punya situs yang secara komprehensif menyediakan berbagai info tentang cuaca yang bisa digunakan oleh pelajar, mahasiswa, pendidik, pemimpin, dan mitra kerja sama.
Di situs itu pula terdapat pameran tentang gejala alam El Nino, juga pemantauan Bumi (Earth Watch), weather on demand, peta cuaca, Pusat Hurricane Nasional. Selain itu, ada pula info latar belakang, antara lain tentang angin, kilat, tornado, suhu, dan pelangi. Sementara itu, untuk menghadapi cuaca buruk (severe weather), dimuat pula petunjuk keselamatan ketika menghadapi tornado, kilat, dan hurricane.
Dalam kaitan ini pula, pemahaman akan ilmu yang lebih luas dari ilmu cuaca, yakni meteorologi, juga semakin dirasakan relevan. Adanya BMG yang secara teratur memberikan prakiraan dan analisis cuaca terasa betul amat membantu, dan ke depan peranannya akan semakin besar. Oleh sebab itu, di negara dengan wilayah geografis besar dan unik, lembaga seperti BMG patut terus dikembangkan, dilengkapi sarana dan prasarananya dengan teknologi canggih, untuk mendukung aktivitasnya sehingga menghasilkan prakiraan cuaca yang lebih akurat dari waktu ke waktu.
Sekadar mengingatkan kembali, meteorologi adalah studi mengenai gerakan dan interaksi kompleks atmosfer, termasuk pengamatan gejala seperti suhu, angin, awan, dan penguapan. Atmosfer bumi-dalam sejarahnya yang panjang-telah mengalami rangkaian perubahan, misalnya saja karena sejumlah letusan gunung api besar telah menyemburkan abu dan debu ke atmosfer yang menyebabkan terjadinya pendinginan periodik iklim.
Kebutuhan untuk semakin mendalami ilmu cuaca, meteorologi, dan juga klimatologi, semakin mendesak justru ketika dewasa ini berbagai peristiwa memperlihatkan bahwa gejala pemanasan global semakin nyata. Kenyataan ini terakhir dikukuhkan dalam Sidang Panel Perubahan Iklim Antarpemerintah (IPCC) pekan lalu di Paris. Di antara fenomena alam yang diyakini akan terjadi adalah meningkatnya frekuensi gelombang panas dan hujan lebat. Tudung es kutub akan menciut; taifun dan hurricane akan menurun jumlahnya, tapi makin kuat terjangannya. Bagaimana akan menghadapi perubahan iklim seperti itu kalau untuk menghadapi yang ada sekarang ini saja sudah kedodoran?
Ekologi
Ilmu lingkungan adalah bidang yang mempelajari kaitan antara makhluk hidup dan lingkungannya. Bidang yang dipelopori oleh biolog Jerman Ernst Haeckel pada tahun 1866 ini makin dirasakan relevansi dan aktualitasnya justru ketika lingkungan fisik tempat makhluk hidup berada semakin memburuk akibat ulah manusia.
Meskipun secara umum acap ditafsirkan sebagai cabang biologi, tetapi semangat ekologi adalah harmoni antara makhluk hidup dan alam. Termasuk dalam pemahaman ini tentu saja bagaimana manusia mengatur tata hubungan dan perilakunya dengan alam. Sayangnya–seperti juga disinggung oleh YF La Kahija dalam artikelnya di harian ini, Selasa (6/2) kemarin– justru semakin banyak orang yang kehilangan kapasitas untuk terhubung (connected) dengan alam, sesama, dan Tuhan.
Connectedness yang dimaksud pada era sekarang tampaknya semakin tergerus oleh ketamakan, yang membuat hutan dibabat tanpa kendali. Hal itu diperburuk pula dengan sikap melecehkan lingkungan, seperti menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah, dan udara terus disemprot dengan polutan.
Menghadapi agresi manusia terhadap biosfer (sering disebut “The Fourth Envelope” setelah hidrosfer, litosfer, dan atmosfer), lapisan tipis yang terbentang dari 11.000 meter di bawah permukaan laut hingga 15.000 meter di atasnya ini makin tak berdaya. Sebagai konsekuensinya, akan makin susutlah kemampuan biosfer untuk menjalankan fungsinya menopang makhluk hidup.
Perencanaan kota
Ilmu perencanaan tata kota dan wilayah dikenal sebagai Planologi, dan disiplin ini sudah mulai menjadi satu pendidikan sejak hampir 50 tahun silam. Tahun 2004 diselenggarakan peringatan 45 tahun pendidikan planologi di Indonesia di ITB. Selain ITB, pendidikan planologi kini juga telah ada di sejumlah perguruan tinggi lain.
Perkembangan dan dinamisme perkotaan serta wilayah pada satu sisi tak bisa dihindari karena berbagai faktor, seperti jumlah penduduk yang terus bertambah dan ekonomi yang terus tumbuh. Namun, hukum perencanaan harus tetap ditaati, dan sebagaimana disiplin-disiplin lain, planologi jelas ilmu yang memberi pedoman tentang bagaimana ruang harus diatur, selain demi kemaslahatan manusia, juga agar harmoni dengan alam dapat terus dipertahankan.
Bagaimana sebaiknya lokasi industri harus ditetapkan, di mana sebaiknya untuk pertanian, bagaimana kebutuhan ideal warga bisa ditopang dengan baik oleh alam, mana kawasan hijau yang harus dipertahankan, itu antara lain wilayah planologi. Tetapi, masuk juga di dalamnya bagaimana perencanaan jalan, perumahan, sistem drainase, dan fasilitas umum lainnya.
Sebagai satu ilmu, planologi tak perlu diragukan. Munculnya istilah “daerah peruntukan” (bisa untuk perumahan atau daerah resapan) menjadi salah satu wujud upaya menata kota dan wilayah. Sayangnya setelah eksis hampir lima dekade, tidak sedikit pihak yang masih sering bertanya, “Di manakah planologi?” Misalnya ketika melihat kota-kota besar di Indonesia yang diandaikan bisa tumbuh baik dengan dukungan ilmu ini, dalam kenyataannya justru sering acak-acakan.
Tetapi, para planolog tak perlu kecil hati karena ilmu yang mereka pelajari tetap hal penting dan benar. Yang dibutuhkan adalah komitmen untuk menerapkannya secara konsekuen oleh otoritas pemerintahan, di daerah maupun di pusat.
Ilmu-ilmu yang menerangi
Ilmu cuaca, ilmu lingkungan, dan ilmu planologi jelas ilmu-ilmu yang apabila diikuti dengan penuh disiplin, besar artinya dalam upaya pencegahan banjir. Dengan memahami cuaca lebih baik, para birokrat bisa membantu masyarakat dalam merencanakan aktivitas mereka, juga membantu pemerintah dalam membangun infrastruktur dan persiapan menghadapi keadaan darurat bencana. Pada sisi lain, memahami ilmu lingkungan baik untuk meningkatkan kesadaran agar senantiasa hidup harmonis dengan alam, tidak merusaknya. Sementara dengan planologi bisa diperoleh perencanaan dan penataan kota serta wilayah yang tidak saja baik bagi warga, tetapi juga selaras dengan alam.
Ilmu-ilmu tersebut telah lama hidup di negeri ini dan banyak dipelajari. Ada keyakinan kalau ilmu-ilmu tersebut diterapkan dengan baik, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia tak perlu sengsara setiap kali mengalami banjir dahsyat. Sebaliknya juga diyakini, kalau ilmu-ilmu tersebut diabaikan, tidak menerangi mereka yang duduk di pemerintahan, bencanalah yang akan menjelang.
Kini, sambil menunggu hujan reda dan mendung pergi, ulurkan tangan ke para korban banjir. Jangan khawatir, “Post Nubila Jubila”, setelah mendung, ada kegembiraan.
Rabu, 04 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar